Dasar-Dasar Faraid
Sumber Hukum Ilmu Faraid
Sumber hukum
untuk ilmu faraid ini diambil dari tiga sumber, yaitu:
1. Al-Qur'an
2. Hadits Rasulullah
3. Ijma' para sahabat dan ulama
Satu hal yang
harus diperhatikan bahwa tidak ada ijtihad dan qiyas di dalam ilmu faraid,
kecuali jika ia telah menjadi kesepakatan atau ijma' para ulama.
Sumber Hukum dari
Al-Qur'an
Sumber hukum
utama untuk perhitungan waris dari Al-Qur'an terdapat pada tiga ayat dalam
surat yang sama, yaitu ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa'. Ayat-ayat inilah
yang disebut sebagai ayat-ayat waris. Jika ingin cepat dalam
mempelajari dan memahami ilmu faraid, maka saya menganjurkan agar kita
menghafal dahulu ayat-ayat ini, minimal terjemahannya dan lebih utama dengan
teks arabnya, karena sumber hukum utama pembagian waris berdasarkan
ketetapan-ketetapan yang terdapat pada ayat-ayat ini. Ayat-ayat waris ini
adalah sebagai berikut:
- "Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya). Dan untuk dua orang
ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. an-Nisaa' - 11)
- "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun." (Q.S. an-Nisaa' - 12)
- "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. an-Nisaa' -
176)
Penjelasan ayat-ayat
waris
Setelah
membaca ayat-ayat waris diatas, maka terdapat lima hukum bagian waris yang
sudah ditetapkan Allah secara jelas di dalam Al-Qur'an, berikut dengan
kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi, yaitu:
- Hukum bagian waris untuk anak
- Hukum bagian waris untuk orang tua
- Hukum bagian waris untuk suami atau istri
- Hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah
- Hukum bagian waris untuk saudara sekandung atau seayah
Untuk lebih
jelasnya, saya sertakan diagram hubungan antara pewaris dan ahli waris
sebagaimana yang sudah Al-Qur'an jelaskan pada gambar sebagai berikut:
Hukum Bagian Waris untuk
Anak
Dari firman Allah
yang artinya "bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya)"
dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Apabila pewaris hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak
laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian. Atau bisa
juga langsung menggunakan format bilangan pecahan, yaitu anak laki-laki
mendapat 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapatkan 1/3 bagian.
2. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak
laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali
bagian untuk anak perempuan. Dengan kata lain, pembagian seorang anak laki-laki
diibaratkan/diumpamakan dengan dua orang anak perempuan, sehingga jika jumlah
anak laki-laki ada 2 orang dan jumlah anak perempuan ada 4 orang, maka pewaris
seakan-akan memiliki 8 orang anak perempuan, dimana jumlah 8 orang ini didapat
dari:
(2 anak
laki-laki x 2) + 4 anak perempuan = 8. Harap diperhatikan bahwa pada kondisi
seperti ini tidak boleh menetapkan bahwa bagian anak laki-laki bersekutu di
dalam 2/3 bagian dan bagian anak perempuan bersekutu di dalam 1/3 bagian,
karena ketentuan ini hanya berlaku pada no.1 diatas, yaitu jika anak laki-laki
dan anak perempuan masing-masing hanya berjumlah 1 orang saja.
3. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak
laki-laki dan anak perempuan, dan selain itu terdapat juga ahli waris lainnya
yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah
dan ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah mereka, bukan anak-anak
dahulu yang diberi, karena Al-Qur'an telah menetapkan hak bagian mereka secara
tetap. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada (setelah dibagikan
kepada mereka), dibagikan kepada anak, yaitu dengan ketentuan bagian untuk anak
laki-laki adalah dua kali bagian untuk anak perempuan.
4. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja,
dengan jumlah anak perempuan lebih dari seorang, maka mereka mendapat 2/3
bagian, dimana mereka bersekutu di dalam 2/3 bagian tersebut, yakni dibagi sama
rata sesuai dengan jumlah anak perempuan tersebut. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan kalimat "fauqats-nataini" pada ayat 11 surat
an-Nisaa' ini bukanlah diartikan secara langsung "anak perempuan lebih
dari dua", melainkan "dua anak perempuan atau lebih", hal ini
merupakan kesepakatan (ijma') para ulama. Mereka bersandar pada hadits
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang
memberitahukan keputusan Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi'
ra. sebagaimana yang akan saya sampaikan pada bahasan setelah ini (silahkan
lihat sub bab "Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris" di dalam bab ini).
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat "itsnataini"
adalah "dua anak perempuan atau lebih". Jadi, orang yang berpendapat
bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua"
jelas tidak benar dan menyalahi hadits Rasulullah dan ijma' para ulama.
5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak perempuan
saja, tanpa anak laki-laki, maka ia mendapatkan seperdua (1/2) bagian dari
harta peninggalan pewaris.
6. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak laki-laki
saja, maka anak tersebut mewarisi seluruh sisa harta peninggalan yang ada,
tentunya setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris lainnya yang sudah
ditetapkan oleh Al-Qur'an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah dan ibu.
Namun jika bersama anak laki-laki tersebut tidak ada ahli waris lainnya yang
sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an secara tetap, maka ia mendapatkan seluruh harta
warisan yang ada. Meskipun ayat yang ada tidak secara tegas menyatakan
demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada.
Bunyi penggalan ayat "bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan" menunjukkan bahwa bagian seorang anak
laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan
dengan kalimat "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh seperdua harta". Maka dari kedua penggalan ayat itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak
laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
7. Adapun bagian untuk keturunan dari anak laki-laki (cucu
pewaris), maka jumlah bagian mereka adalah sama seperti anak, dengan syarat
tidak ada anak pewaris yang masih hidup (misalnya meninggal terlebih dahulu)
dan mereka harus berasal dari pokok yang laki-laki dengan tidak diselingi oleh
pokok yang perempuan, misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu",
mencakup seluruh keturunan anak kandung, termasuk cucu, cicit dan seterusnya
dengan syarat tidak ada ahli waris diatas mereka yang masih hidup, dan tidak
terselingi oleh pokok yang perempuan. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'
para ulama.
Hukum Bagian Waris untuk
Orang Tua
Dari firman
Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." dapat
dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian
apabila pewaris mempunyai keturunan. Keturunan ini mencakup anak dan
keturunannya, yaitu keturunan dari anak yang laki-laki, yakni cucu, cicit dan
seterusnya kebawah, asalkan pokok mereka tidak tercampur dengan unsur
perempuan.
2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya
mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya,
yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi
ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah
tidak disebutkan. Jadi pengertiannya adalah bahwa sisanya merupakan bagian ayah.
3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai beberapa
saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah
saudara lebih dari satu orang (dua orang atau lebih), dimana pewaris tidak
meninggalkan keturunan,maka ibunya mendapat seperenam bagian.
Ini adalah pengertian dari ayat "jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam". Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu
lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta
waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan
sebagai hajb (penghalang).
4. Jika selain kedua orang tua, pewaris hanya mempunyai seorang saudara,
baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara tersebut
hanya satu orang saja, dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya
mendapat sepertiga bagian. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu dua per
tiga. Ini adalah pengertian dari ayat "jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga" Adapun saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris
dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb
(penghalang).
Hukum Bagian Waris untuk
Suami atau Istri
Dari firman
Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." dapat
dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
Untuk Suami:
1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai
keturunan, maka suami mendapat bagian seperdua dari harta yang ditinggalkan
istrinya.
2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan,
maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Yang dimaksud
keturunan istri di atas adalah semua anak istri, cucu laki-laki dan perempuan
dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik berasal dari suami
yang terakhir, maupun yang berasal dari suami-suami nya yang sebelumnya.
Untuk Istri:
1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai
keturunan, maka bagian istri adalah seperempat.
2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai keturunan,
maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Yang dimaksud
dengan keturunan suami di atas adalah semua anak suami, cucu laki-laki dan
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik yang
berasal dari seluruh istri-istri nya, baik yang masih menjadi istrinya maupun
yang sudah bercerai atau meninggal.
Hukum Bagian Waris untuk
Saudara Seibu Lain Ayah
Dari
firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris)."
dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara
laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian
yang diperolehnya adalah seperenam. Harap diperhatikan, yang dimaksud dengan
kalimat ini adalah bukan mempunyai dua orang saudara seibu, tapi hanya
mempunyai satu orang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan, bagian
mereka sama saja, yaitu 1/6 bagian.
2. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dengan jumlah dua
orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, maka mereka mendapatkan satu
per tiga (1/3) bagian secara bersekutu, yakni dibagi sama rata sesuai dengan
jumlah saudara seibu tersebut. Dengan demikian, untuk saudara seibu tidak
berlaku hukum "bagian untuk anak laki-laki sama dengan bagian untuk dua
orang anak perempuan". Dan dapat disimpulkan, bahwa untuk saudara seibu
ini bagian warisnya tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
Harap
diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan diatas hanya dapat dilaksanakan jika
pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun
anak perempuan. Termasuk pula pokok dan cabang seterusnya, yaitu kakek, cucu
perempuan dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya. Di
dalam ilmu faraid kondisi seperti ini disebut juga kalalah, yaitu
seseorang yang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun anak, atau dengan kata
lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Para ulama telah sepakat (ijma')
bahwa kalalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak
memiliki keturunan.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya dari asy-Sya'bi, bahwasanya Abu Bakar
ash-Shiddiq ra. pernah ditanya mengenai kalalah, ia menjawab: "Saya
mempunyai pendapat mengenai kalalah. Apabila pendapat saya ini benar maka
hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun
bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas
dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, kalalah adalah orang yang meninggal
yang tidak mempunyai ayah dan anak."
Ketika Umar
bin Khattab berkuasa, ia berkata: "Aku malu untuk menyelisihi pendapat
Abu Bakar (mengenai makna kalalah tersebut)." Ibnu Katsir berkata di
dalam tafsirnya, "Demikian pula yang dikatakan oleh Ali dan Ibnu
Mas'ud, dan diriwayatkan dari beberapa orang dari Ibnu Abbas dan Zaid bin
Tsabit. Demikian pula pendapat asy-Sya'bi, an-Nakha'i, al-Hasan, Qatadah, Jabir
bin Zaid, dan al-Hakam. Begitu pula pendapat ulama-ulama Madinah, ulama-ulama
Kufah dan Basrah. Begitu juga pendapat Fuqaha Tujuh dan Imam Empat serta jumhur
ulama salaf dan khalaf, bahkan sudah merupakan ijma' para ulama."
Hukum Bagian Waris untuk
Saudara Sekandung atau Seayah
Firman Allah
SWT, "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu."
Sebagaimana
pada hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah, maka hukum bagian waris
untuk saudara sekandung atau seayah diatas hanya dapat diterapkan jika terjadi
kondisi kalalah, yaitu jika pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak,
khususnya anak laki-laki. Jika pewaris mempunyai anak lelaki walaupun hanya
seorang, maka sudah dapat dipastikan saudara sekandung atau seayah ini tidak
mendapatkan warisan, karena anak laki-laki merupakan ahli waris yang dapat
menghalangi hak waris saudara sekandung atau seayah, dimana ia akan mengambil seluruh
sisa warisan yang ada setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang telah
mendapatkan bagian tetap sebagaimana yang telah Al-Qur'an tetapkan ketentuannya
secara pasti. Namun jika ia hanya mempunyai anak perempuan saja, baik seorang
atau lebih, maka saudara sekandung atau seayah ini masih memungkinkan untuk
mendapatkan hak waris secara ashabah (mendapat hak waris secara sisa). Dengan
demikian, dari ayat diatas dapat disimpulkan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Apabila pewaris mempunyai seorang saudara laki-laki sekandung
atau seayah dan mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau
seayah, maka yang laki-laki mendapatkan 2/3 bagian, sedangkan 1/3 bagian lagi
milik yang perempuan.
2. Apabila pewaris meninggalkan banyak saudara laki-laki
sekandung atau seayah (dua orang atau lebih) dan banyak saudara perempuan
sekandung atau seayah (dua orang atau lebih), maka ketentuannya adalah bagian
waris untuk yang laki-laki adalah dua kali bagian waris untuk yang perempuan.
3. Apabila pewaris hanya mempunyai satu orang saudara perempuan
sekandung ataupun seayah, maka ia mendapat seperdua harta peninggalan.
4. Apabila pewaris mempunyai dua orang atau lebih saudara
perempuan sekandung atau seayah, maka mereka mendapat dua per tiga bagian
dibagi secara rata diantara mereka.
5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki
sekandung atau seayah, tanpa ada saudara perempuan sekandung atau seayah, maka
seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara laki-laki sekandungnya atau
seayah. Apabila saudara laki-laki sekandung atau seayah nya banyak (dua orang
atau lebih), maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala.
Harap
diperhatikan bahwa saudara seayah tidak mendapatkan hak waris seandainya ada
seorang atau lebih saudara sekandung, oleh karena itu kalimat-kalimat diatas
menggunakan kata sambung "atau". Jadi dengan kata lain, adanya
saudara sekandung merupakan penghalang bagi saudara seayah untuk mendapatkan
hak waris, kecuali untuk kondisi tertentu sebagaimana yang akan saya jelaskan
pada pembahasan selanjutnya.
Sumber Hukum dari Hadits
Rasulullah
Selain dari
Al-Qur'an, terdapat pula hadits yang menerangkan tentang hukum pembagian harta
warisan ini. Hadits tersebut adalah:
Artinya:
"Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, 'Berikanlah
harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kepada pihak)
laki-laki yang lebih utama.'" (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun yang
dimaksud dengan "laki-laki yang lebih utama" pada hadits diatas
adalah kerabat laki-laki yang terdekat kekerabatannya dengan pewaris, kemudian
jika masih ada sisanya beralih ke kerabat laki-laki lain yang urutan
kedekatannya setelah kerabat yang pertama, dan begitu seterusnya. Ada yang
cukup menarik dari teks hadits diatas, yaitu pada akhir hadits diatas (lihatlah
teks arab yang digaris bawahi dengan warna merah), yakni menggunakan katadzakar (laki-laki)
setelah kata rajul (seorang laki-laki). Penyebutan kata
"dzakar" setelah penyebutan kata "rajul" tersebut merupakan
penegasan yang menggantikan posisi pihak perempuan. Selain itu agar menghindari
salah pengertian, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk laki-laki
dewasa dan cukup umur saja. Sebab, janin dan bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan jika ia memang termasuk ahli waris.
Selain hadits
diatas, terdapat pula hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan hukum waris
ini. Agar lebih mudah memahaminya, Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan
saya bahas berikut dengan contoh-contohnya.
Sumber Hukum dari Ijma'
para Sahabat dan Ulama
Para sahabat
nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan tabi'it tabi'in (generasi setelah
tabi'in), telah berijma' atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid ini dan
tiada seorang pun yang menyalahi ijma' tersebut.
Kalangan
sahabat nabi yang terkenal dengan pengetahuan ilmu faraidnya ada empat. Mereka
adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah
ibnu Mas'ud. Apa yang mereka sepakati atas sebuah masalah faraid, maka umat
Islam akan menyetujuinya, kendatipun terdapat perbedaan pendapat diantara
mereka dalam satu masalah tertentu.
Imam Syafi'i
dan sebagian ulama yang lainnya telah memilih mazhab Zaid bin Tsabit, karena
sabda Rasulullah saw., "Zaid telah mengajarkan ilmu faraid kepada
kalian." Al-Qaffal berkata, "Pendapat Zaid bin Tsabit dalam
masalah faraid tidak pernah diabaikan, bahkan semua pendapat-pendapatnya
diterapkan. Hal ini berbeda dengan pendapat-pendapat yang diberikan oleh
sahabat yang lain". Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan saya sampaikan
ijma' para sahabat dan ulama tersebut berikut dengan contoh-contoh kasusnya.
Asbabun Nuzul Ayat-ayat
Waris
Banyak
riwayat yang mengisahkan tentang asbabun nuzul atau sebab musabab turunnya
ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw.
dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah,
kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai
syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil
seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi
keduanya, sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta"
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan
perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu surat an-Nisaa'
ayat 11. Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri
Sa'ad itu dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta
peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad)
mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara sekandung
Sa'ad (paman kedua putri Sa'ad).
Dalam riwayat
lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin
Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun,
seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum
laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan
masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban
persoalan itu.
Juga di dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan, "Jabir bin Abdullah ra.
mengatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya ketika ia sakit dan tidak sadarkan
diri. Lalu orang-orang menuangkan bekas bekas air wudhu beliau kepadanya
sehingga sadar. Kemudian ia katakan, "Ya Rasulullah! Yang akan mewarisi
saya hanyalah kalalah." Maka, turunlah ayat tentang waris (hukum
kalalah), yakni surah An-Nisaa' ayat 176."
Jika kita menyimak
hadits-hadits diatas, terdapat suatu gambaran nyata bagaimana sesungguhnya
kondisi sistem waris sebelum Islam datang, yaitu pada masa Arab jahilliyah
dahulu. Orang-orang Arab jahilliyah hanya mengenal sistem kewarisan yang
diturunkan hanya kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan kemampuannya
menunggang kuda, bertempur dimedan perang, dan meraih harta rampasan perang.
Apabila pewaris tidak mempunyai anak lelaki dewasa, maka mereka memberikan
kepada para kerabat lelaki yang terdekat dengan pewaris, seperti saudara
laki-laki dewasa dari pewaris, paman pewaris, dan seterusnya, yang penting
mereka adalah laki-laki dewasa. Dengan demikian, mereka tidak memberikan waris
kepada kaum wanita dan laki-laki yang masih anak-anak. Selain itu mereka pun memberikan
hak waris kepada anak angkat (anak yang diadopsi), dan kedudukan anak angkat
oleh mereka dianggap sama dengan kedudukan anak kandung dalam hal pembagian
harta waris.
Di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. disebutkan, "Ketika masalah
faraid (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak
laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat
membencinya. Mereka berkata, 'Istri diberikan bagian warisan sebesar
seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak
kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorang pun dari golongan mereka
itu yang berperang demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang.
Acuhkanlah pembicaraan ini, semoga saja Rasulullah saw. menjadi lupa atau bila
kita mengatakannya, pastilah beliau akan mengubahnya.' Lalu sebagian
dari mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kami harus memberikan
seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya,
sedang dirinya tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam
peperangan? Kemudian kami memberi anak kecil harta waris pula,
padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya?' Orang-orang Arab di
masa Jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan, kecuali
kepada orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang
lebih besar dan seterusnya." (Tafsir Ibnu Jarir, juz VIII, hlm.32)
Namun setelah
Islam datang dan iman mereka semakin kuat, mereka dengan segera meninggalkan adat
istiadat dan kebiasaan mereka mengenai sistem pembagian waris arab jahilliyah
tersebut, dan mereka pun membatalkan atau meniadakan hak waris bagi anak
angkat, karena Allah telah berfirman: "Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian
itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Q.S. al-Ahzab - 4,5)
Maka kita
patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah, yang telah menurunkan ketetapan
dan peraturan sistem pembagian waris ini dengan sangat adil, sehingga kita
mendapat petunjuk yang jelas bagaimana cara membagi harta waris yang Allah
ridhai.
Rukun-rukun Waris
Rukun-rukun
waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun waris ini tidak ada maka
tidak akan terjadi pembagian warisan. Diantaranya adalah:
1. Adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia
yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.
2. Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Adanya harta warisan, yaitu harta peninggalan
milik pewaris yang ditinggalkan ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat
berbagai macam bentuk dan jenisnya, seperti uang, emas, perak, kendaraan
bermotor, asuransi, komputer, peralatan elektronik, binatang ternak (seperti
ayam, kambing, domba, sapi, kerbau, dan lain-lain), rumah, tanah, sawah, kebun,
toko, perusahaan, dan segala sesuatu yang merupakan milik pewaris yang di
dalamnya ada nilai materinya.
Hak-hak yang berkaitan
dengan Pewaris
Dalam hal
penggunaan harta warisan ini, terdapat beberapa hak yang harus ditunaikan
terlebih dahulu berkaitan dengan hak-hak pewaris. Jika hak-hak ini sudah
ditunakan, barulah sisa dari seluruh harta peninggalan pewaris tersebut dapat
dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, as-Sunnah, dan
kesepakatan (ijma') para ulama. Hak-hak yang berkaitan dengan pewaris dan harta
warisannya tersebut diantaranya adalah:
- - Biaya untuk keperluan pemakaman pewaris
- - Hutang pewaris
- - Menunaikan wasiat pewaris
Biaya untuk Keperluan
Pemakaman Pewaris
Semua
keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya
tersebut dengan penggunaan yang sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak
pula dikurang-kurangi. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya
adalah: biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya
hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Segala keperluan
tersebut bisa berbeda-beda biayanya, tergantung keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
Apabila
pewaris tidak meninggalkan warisan, maka hendaknya biaya pemakamannya dipikul
oleh keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu masih hidup, yaitu anak-anak
dan kerabat lainnya yang mampu. Jika pewaris tidak mempunyai kerabat yang dapat
menanggung biaya penguburannya, maka biaya itu dapat meminta ke kas RT, kas RW
atau bahkan baitulmal (kas negara). Di tempat saya tinggal dahulu,
terdapat satu kebijaksanaan dari pengurus RT dan para warganya, yaitu
menyediakan biaya pengurusan jenazah dari awal sampai ke tempat
peristirahatannya yang terakhir (tidak termasuk biaya untuk pembelian tanah
makam). Kas RT ini sebenarnya merupakan dana yang di dapat dari iuran bulanan
warga itu sendiri.
Hutang yang
masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu.
Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum hutangnya ditunaikan terlebih dahulu.
Berkaitan
dengan hutang ini, terdapat hadits Rasulullah sebagai berikut, "Dari Abu
Hurairah ra. bahwa ada jenazah yang mempunyai tanggungan hutang dibawa kepada
Rasulullah, lalu beliau bertanya, "Apakah mayat ini meninggalkan harta
yang cukup untuk melunasi hutangnya?" Jika diberitahukan dia
meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau
menshalatinya. Jika dia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi
hutangnya, maka beliau mengatakan kepada para sahabat, "Shalatilah
sahabatmu ini!" Setelah Allah memberikan kemenangan berkali-kali
kepada Rasulullah dalam pertempuran (sehingga banyak diperoleh harta rampasan
perang), maka beliau bersabda, "Aku lebih berhak terhadap orang-orang
mu'min daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati dengan mempunyai
tanggungan hutang, maka akulah yang melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan
harta, maka harta tersebut milik ahli warisnya." (HR. Muslim)
Dalam hadits
lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Roh (jiwa) seorang
mu'min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia
dilunasi. (HR. Ahmad)
Di dalam
hadits yang lain disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, "Akan
diampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali hutangnya (yang belum
dibayar). (HR. Muslim)
Mungkin
diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat,
yang masih mempunyai tanggungan hutang yang belum dilunasi, namun ia tidak
meninggalkan harta warisan yang cukup untuk menutup hutangnya tersebut? Maka
jika terjadi kondisi seperti ini, yaitu jumlah hutangnya tersebut lebih besar
dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari
harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk
tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika
memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada
kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta
bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada
pemerintah atau negara dari harta baitulmal (kas negara)
Di dalam
suatu hadits disebutkan, "Seorang hamba muslim yang membayar hutang
saudaranya, maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat."
(HR. Mashabih Assunnah)
Di dalam
hadits lainnya disebutkan, "Berlakulah lunak dan saling mengasihi
(dalam hal menagih hutang). Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain.
Apabila orang yang punya hak (yang menghutangkan) mengetahui kebaikan yang akan
diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya (terhadap orang yang
berhutang), pasti orang yang punya tuntutan atas haknya (yang menghutangkan)
akan lari menjauhi orang yang dituntutnya (orang yang berhutang)."
(HR. Bukhari)
Harap
diperhatikan, bahwa hutang yang patut dibantu adalah hutang seseorang yang
digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya,
membeli pakaian untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia
berada dalam kondisi yang kekurangan. Adapun hutang seseorang yang digunakan
untuk perbuatan dosa, seperti seseorang yang berhutang untuk berjudi, membeli
minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak perlu dibantu, dan bahkan
tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk dan kondisi
apapun. Wallahu'alam.
Menunaikan Wasiat Pewaris
Wasiat adalah
permintaan pewaris terhadap ahli warisnya sebelum wafatnya. Wasiat ini
sebenarnya tidak hanya berupa pesan yang sifatnya untuk membagikan sejumlah
tertentu dari hartanya, namun ia bisa juga berbentuk pesan-pesan kebaikan yang
diinginkan pewaris untuk ditunaikan oleh ahli warisnya
Seorang
muslim yang telah mengetahui ilmu faraid tentunya menginginkan ketika ia telah
wafat, harta peninggalannya tersebut dapat dibagikan kepada ahli warisnya
dengan benar sesuai dengan syariat (ketentuan) yang Allah turunkan. Juga
terkadang mereka mempunyai keinginan tertentu sebelum wafatnya, diantaranya ia
ingin seperbagian hartanya tersebut disedekahkan kepada fakir miskin, diinfakan
di jalan Allah, disumbangkan untuk pembangunan masjid setempat, dibagikan
kepada seseorang yang ia anggap telah berjasa kepadanya, dan lain sebagainya.
Maka seluruh keinginannya tersebut dapat dituliskan di dalam suatu surat
wasiat.
Penunaian
wasiat pewaris dilakukan setelah pewaris wafat. Jika ia mewasiatkan harta, maka
yang paling didahulukan untuk diselesaikan adalah biaya keperluan pemakamannya,
kemudian pembayaran hutangnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim,
disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw memutuskan untuk mendahulukan
penyelesaian hutang sebelum melaksanakan wasiat.
Wajib
hukumnya menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah
sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat
tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes
dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Para ulama telah sepakat
bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah haram, baik wasiat itu
sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah menetapkan bagian ahli waris di
dalam Al-Qur'an. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., dari Abu Umamah ra., ia
berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh Allah telah
memberikan hak (waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada
wasiat (tambahan harta) bagi orang yang (telah) mendapatkan warisan'".
(HR. al-Khamsah, kecuali an-Nasa'i)
Adapun
mengenai ayat "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Q.S. al-Baqarah - 180),
maka sesungguhnya ayat ini turun sebelum ayat-ayat waris. Maka setelah turun
ayat-ayat waris, ditentukanlah batas-batas tertentu bagi para ahli waris
sebagaimana yang sudah saya jelaskan pada sub bab "Penjelasan Ayat-ayat
Waris" di atas. Oleh karena itu, setelah turun ayat-ayat waris, seseorang
tidak boleh lagi berwasiat untuk membagikan sejumlah harta tertentu di luar
haknya untuk para ahli warisnya. Adapun wasiat untuk selain ahli waris maka
diperbolehkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Nabi dan tabi'in.
Terkecuali
khusus untuk istri-istri dari pewaris, terdapat satu ayat yang menjelaskan hak
mereka, yakni "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu
dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang
makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(Q.S. al-Baqarah - 240). Jadi para istri hendaknya diberi nafkah selama setahun
penuh dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya, dimana semua itu harus sudah
diwasiatkan oleh para suami yang telah kedatangan tanda-tanda maut. Nafkah
setahun yang diwasiatkan ini adalah diluar harta warisan. Jika mereka (para
istri pewaris) hendak pindah sendiri sebelum setahun (yakni setelah habis masa
iddahnya [empat bulan sepuluh hari]), maka para wali atau ahli waris tidak
berdosa membiarkan para istri itu untuk berbuat yang makruf, seperti misalnya
menikah lagi dan lain sebagainya. Jadi tinggal selama setahun di rumah pewaris
dan juga mendapatkan nafkahnya selama setahun merupakan hak bagi para istri
yang ditinggal wafat suaminya.
Dalam
berwasiat hendaknya ada saksi, sebagaimana diterangkan dalam ayat "Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang
yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika
kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu
tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah)
kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan
persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang berdosa"." (Q.S. al-Maaidah - 106)
Juga di dalam
suatu hadits disebutkan, "Dari Salim, dari Ibnu Umar ra. bahwa dia
mendengar Rasulullah bersabda, 'Seorang muslim yang memiliki sesuatu
yang akan dia wasiatkan, hendaklah wasiat tersebut sudah tercatat padanya
(selambat-lambatnya) tiga malam setelah berlangsungnya wasiat itu.'"
Kata Abdullah bin Umar, "Sejak saya mendengar sabda Rasulullah
tersebut, maka tidak terlewat satu malam pun melainkan surat wasiat saya telah
ada pada saya." (HR. Muslim)
Berkata imam
Syafi'i, "Tidak ada kehati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim,
kecuali bila wasiatnya itu sudah tertulis dan selalu berada disisinya bila dia
mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya
akan menjemput. Sebab bila dia mati sedang wasiatnya belum tertulis dan tidak
berada disisinya, maka mungkin wasiatnya tidak akan kesampaian (yakni tidak ada
yang menunaikan, karena para ahli warisnya memang tidak ada yang tahu apa yang
diinginkan oleh pewaris yang telah wafat tersebut)".
Demikian
pula, menunaikan wasiat hukumnya wajib bagi yang telah diamanahi atau dipercaya
untuk menunaikan isi wasiat tersebut. Maka terhadap orang-orang yang merubah
atau bahkan menelantarkan wasiat tersebut, maka sesungguhnya ia telah berdosa.
Firman Allah di dalam Al-Qur'an: "Maka barang siapa yang mengubah
wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (Q.S. al-Baqarah - 181)
Namun jika ia
merasa pewaris telah berlebih-lebihan dalam berwasiat, berat sebelah, pilih
kasih dan tidak adil, misalnya berwasiat agar memberikan harta warisan
seluruhnya kepada seseorang, atau mungkin isi wasiat tersebut menyuruh berbuat
dosa dan pelanggaran, maka ahli waris boleh untuk tidak melaksanakan wasiatnya,
karena memang Allah melarang perbuatan dosa dan karena batas maksimal pemberian
harta warisan pada wasiat itu adalah sepertiga dari harta milik pewaris, itupun
jika tidak ada protes dari salah satu ataupun seluruh ahli waris yang ada.
Firman Allah: "(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang
berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. al-Baqarah - 182).
Diriwayatkan
oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya seorang lelaki dan
seorang perempuan benar-benar telah beramal dan taat kepada Allah selama enam
puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedangkan keduanya
menyulitkan di dalam wasiatnya, maka keduanya wajib masuk neraka!"
Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat (Q.S. an-Nisaa' - 12): "Sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun."
Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: "Barang
siapa yang mati dalam keadaan berwasiat (yang baik), maka dia telah mati di
jalan Allah dan sunnah, mati dalam keadaan takwa dan syahid; dan mati dalam
keadaan diampuni dosanya."
Batas maksimum wasiat adalah sepertiga dari harta waris, dan
tidak boleh melebihinya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Sa'ad bin Abi Waqqash ra. telah menceritakan pengalamannya dengan Rasulullah
seputar masalah batas maksimum wasiat yang diperbolehkan. Isinya adalah sebagai
berikut: Sa'ad bin Abi Waqqash ra. mengatakan bahwa ia dijenguk oleh Rasulullah
ketika Haji Wada' karena ia sakit parah hampir mati. Ia katakan,"Ya
Rasulullah! Anda lihat sendiri sakit saya yang parah ini, sedangkan saya
tergolong orang yang berharta tetapi tidak ada yang mewarisi saya kecuali anak
wanita saya. Bagaimana kalau saya sedekahkan dua pertiga harta saya?"
Rasulullah menjawab, "Jangan." Ia tanyakan lagi, "Bagaimana
kalau saya sedekahkan seperduanya?" Beliau menjawab, "Jangan.
Sepertiga saja. Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh kau tinggalkan ahli warismu
dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada kau tinggalkan mereka dalam
keadaan kepapaan (kemiskinan), lalu mereka meminta-minta kesana kemari.
Tidakkah kau berikan infak hanya karena Allah melainkan kau diberi pahala
karena infak tersebut, termasuk sesuap makanan yang kau berikan untuk makanan
istrimu." (HR. Muslim)
Juga di dalam
hadits lainnya diceritakan, "Ibnu Abbas ra. mengatakan bahwa kalau
orang-orang ingin mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat harta,
maka yang demikian itu lebih baik, karena Rasulullah bersabda, "Sepertiga
saja maksimal, karena sepertiga itu sudah banyak." (HR. Muslim)
Satu hal yang
mesti diperhatikan adalah wasiat tidak sama dengan hibah (hadiah atau
pemberian). Hibah menjadi milik orang yang dihibahkan pada saat itu juga. Sejak
saat tersebut, orang yang memberikan hibah itu sudah berubah statusnya menjadi
bukan lagi pemilik sesuatu yang dihibahkan tersebut, dan pemilik sesungguhnya
menjadi orang yang diberi hibah tersebut. Orang yang sudah menghibahkan sesuatu
kepada orang lain dilarang mengambil kembali hibahnya, apapun keadaannya. Di
dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan, Umar ibnul
Khattab ra. mengatakan bahwa ia telah menyedekahkan seekor kuda yang bagus
untuk keperluan jihad fisabilillah, namun kemudian pemiliknya (yakni orang yang
telah diberinya) menyia-nyiakan kuda itu. Lalu ia (Umar) menyangka bahwa
pemiliknya (yakni orang yang telah diberinya) akan menjualnya dengan harga yang
murah. Maka, hal itu ia tanyakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda,
"Janganlah kau membelinya dan janganlah kau minta kembali sedekahmu,
karena orang yang meminta kembali sedekahnya adalah seperti anjing yang
menjilat kembali muntahnya." Juga di dalam hadits Muslim lainnya
disebutkan, dari Ibnu 'Abbas ra. bahwa Rasulullah bersabda, "Orang yang
meminta kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang muntah lalu dijilatinya
kembali."
Adapun wasiat
berbeda dengan hibah. Wasiat akan menjadi milik orang yang diwasiatkan dengan
syarat jika orang yang berwasiat itu telah wafat, dan itupun perhitungannya
setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-hutangnya,
karena memang hutang harus lebih didahulukan pembayarannya daripada wasiat.
Jadi jika seseorang berwasiat, "Berikanlah seperdelapan hartaku untuk
pembangunan masjid itu!". Maka seperdelapan itu dihitung dari hartanya
setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-hutangnya, bukan
dari pokok harta warisnya secara utuh. Setelah itu, baru sisanya diberikan
kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Syarat-syarat Waris
Syarat-syarat
waris ada tiga, diantaranya adalah:
1. Telah meninggalnya pewaris baik secara nyata maupun secara
hukum (misalnya dianggap telah meninggal oleh hakim, karena setelah dinantikan
hingga kurun waktu tertentu, tidak terdengar kabar mengenai hidup matinya). Hal
ini sering terjadi pada saat datang bencana alam, tenggelamnya kapal di lautan,
dan lain-lain.
2. Adanya ahli waris yang masih hidup secara nyata pada waktu
pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris telah diketahui secara pasti, termasuk
kedudukannya terhadap pewaris dan jumlah bagiannya masing-masing.
Sebab-sebab Mendapatkan
Hak Waris
Ada tiga
sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris, diantaranya adalah:
1. Memiliki ikatan kekerabatan secara hakiki (yang ada ikatan
nasab murni atau ikatan darah), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman,
dan seterusnya.
2. Adanya ikatan pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah legal
yang telah disahkan secara syar'i antara seorang laki-laki dan perempuan,
sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antar keduanya.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, seperti nikah mut'ah, kawin kontrak
dan sebagainya tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Bagaimana
bisa ada hak waris, sedangkan pernikahannya itu sendiri adalah tidak sah.
3. Al-Wala, yaitu terjadinya hubungan kekerabatan karena
membebaskan budak. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan
kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia yang merdeka. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, dengan syarat budak itu sudah tidak memiliki satupun ahli waris,
baik ahli waris berdasarkan ikatan kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya
tali pernikahan.
Penggugur Hak Waris
Tidak semua
ahli waris bisa mendapatkan harta warisan. Terdapat beberapa kondisi yang
menyebabkan seseorang menjadi gugur untuk mendapatkan harta warisan. Penggugur
hak waris ini ada tiga, diantaranya adalah:
1. Budak. Seseorang yang berstatus sebagai budak
(yang belum merdeka) tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya. Baik budak itu sebagai budak murni, budak yang akan dinyatakan
merdeka seandainya tuannya meninggal, ataupun budak yang telah menjalankan
perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak. Jadi bagaimanapun keadaannya, semua jenis budak
merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik, terkecuali jika ia telah merdeka. Hadits Rasulullah
saw, "Siapa yang menjual seorang hamba (budak) sedangkan dia memiliki
harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba
tersebut mensyaratkannya (yakni membuat perjanjian dahulu dengan pembelinya
supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya yang baru tersebut)." (HR.
Ibnu Majah). Namun jika budak tersebut sudah benar-benar merdeka, misalnya
karena dibebaskan oleh tuannya, maka barulah ia berhak untuk mendapatkan hak
waris dan juga mewariskan, karena status dia sudah sebagai orang merdeka. Untuk
di zaman kita sekarang ini, sudah banyak undang-undang di berbagai negara yang
melarang perbudakan, oleh karena itu jarang sekali kita menemukan budak, atau
mungkin sudah tidak ada sama sekali.
2. Pembunuhan. Apabila seorang ahli waris membunuh
pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak
mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Seorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun." (HR Abu Daud). Juga
di dalam hadits lainnya, Rasulullah bersabda, "Tidak ada hak bagi si
pembunuh untuk mewarisi." (HR Malik, Ahmad dan Ibnu Majah). Maka jika
ada anak yang membunuh orang tuanya dengan jalan apapun karena ingin segera
mendapatkan harta warisan, maka sesungguhnya ia telah berdosa besar, yakni dosa
membunuh orang tua dan juga dosa mengambil harta warisan yang bukan merupakan
haknya. Imam Malik memberi pengecualian untuk kasus pembunuhan yang tanpa
disengaja, misal karena suami sedang memegang pisau yang hendak digunakan untuk
menyembelih ternak, kemudian tiba-tiba istrinya jatuh terpeleset dan tepat
mengenai pisau yang dibawa suaminya tersebut. Maka suami tersebut wajib
membayar diyat kepada keluarga/wali istrinya, namun ia tetap mendapatkan waris
dari harta milik istrinya tersebut (tidak termasuk dengan harta diyat-nya yang
sudah ia berikan). Juga mengenai pembunuhan yang disengaja karena pembelaan
diri, misal ia diserang dan terancam jiwanya, maka pembunuhan seperti ini tidak
menghalangi hak warisan si pembunuhnya.
3. Berlainan agama. Seorang muslim tidak dapat
mewarisi harta warisan orangnon muslim walapun ia
adalah orang tua atau anak, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini telah
ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Orang Islam tidak dapat
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang Islam." (HR Bukhari dan Muslim). Menurut pendapat syaikh
Al-'Utsaimin, khusus untuk orang munafik, jika ia terlihat jelas
kemunafikannya, maka ia masuk ke dalam kategori orang kafir, sehingga ia tidak
dapat saling waris-mewarisi bersama kerabatnya yang muslim. Namun jika
kemunafikannya tidak terlihat secara zhahir, maka ia tetap dianggap sebagai
seorang muslim. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, yang berkata "Tidak ada penghalang saling waris-mewarisi antara
seorang muslim dengan seorang munafik. Sebab seorang munafik dihukumi muslim
secara zhahir." Ia juga berpendapat, seorang muslim dapat mewarisi harta
dari kerabatnya yang murtad dan kafirdzimmi, yakni orang kafir yang
tidak memerangi umat Islam dan agama Islam, dan hidup/tinggal di negeri kaum
muslimin yang diikat dengan perjanjian untuk tunduk dan patuh terhadap
peraturan yang berlaku di negeri tersebut.
Ahli Waris Laki-Laki dan
Perempuan Menurut Ijma' para Ulama
Pada
pembahasan sebelumnya, telah saya sampaikan bahwa ahli waris yang ditetapkan
oleh Allah secara jelas di dalam Al-Qur'an adalah anak, orang tua, suami atau
istri, saudara seibu, dan saudara sekandung atau saudara seayah. Namun para
ulama telah menetapkan bahwa terdapat lima belas laki-laki dan sepuluh
perempuan yang berhak untuk mendapatkan hak waris. Dalam hal ini tidak ada
seorangpun yang menyalahi ijma' para ulama tersebut, karena mereka bersandar
kepada dalil Al-Qur'an dan hadits Rasulullah saw. Saya gambarkan diagram
seluruh ahli waris tersebut sebagai berikut:
Ahli Waris Laki-laki
Terdapat 15
ahli waris laki-laki yang telah menjadi ijma' para ulama, yaitu:
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Mencakup pula
cicit laki-laki dari keturunan cucu laki-laki, dimana cucu laki-laki tersebut
berasal dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula keturunan laki-laki yang
seterusnya kebawah, yang penting mereka berasal dari pokok yang laki-laki yang
tidak tercampuri unsur wanita.
3. Ayah.
4. Kakek sahih (bapak dari ayah) dan laki-laki generasi
diatasnya yang tidak tercampuri unsur wanita.
5. Saudara laki-laki sekandung.
6. Saudara laki-laki seayah.
7. Saudara laki-laki seibu.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
10. Paman sekandung (saudara laki-laki sekandung ayah, baik adik
maupun kakak ayah).
11. Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah, baik adik
maupun kakak ayah).
12. Anak laki-laki dari paman sekandung.
13. Anak laki-laki dari paman seayah.
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakan budak, baik budak laki-laki
maupun budak perempuan
Ahli Waris Perempuan
Terdapat 10
ahli waris perempuan yang telah menjadi ijma' para ulama, yaitu:
1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Mencakup pula
cicit perempuan dari keturunan cucu laki-laki, dimana cucu laki-laki tersebut
berasal dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula keturunan perempuan yang
seterusnya kebawah, yang penting mereka berasal dari pokok yang laki-laki yang
tidak tercampuri unsur wanita.
3. Ibu.
4. Nenek (ibu dari ayah).
5. Nenek (ibu dari ibu). Nenek, baik ibu dari ayah maupun ibu
dari ibu, semuanya bersekutu dalam satu bagian yang telah ditetapkan untuk
mereka (dibagi sama rata), itupun apabila mereka mendapatkan hak waris, yakni
tidak ada penghalang bagi hak waris mereka.
6. Saudara perempuan sekandung.
7. Saudara perempuan seayah.
8. Saudara perempuan seibu.
9. Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan budak, baik budak laki-laki
maupun budak perempuan.
Dalil-Dalil yang
Menetapkan Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan
Dalam
menetapkan ahli waris laki-laki dan perempuan sebagaimana diatas, para ulama
bersandar kepada dalil-dalil atau rujukan yang kuat, yaitu dari Al-Qur'an dan
hadits Nabi saw. Berikut ini saya coba sampaikan dalil-dalilnya.
Dalil-Dalil yang
Menetapkan Ahli Waris Laki-laki
Dalil-dalil
yang memberikan hak waris kepada laki-laki yang berjumlah lima belas adalah
firman Allah swt. dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi saw. Dalil-dalil tersebut
dapat dilihat sebagai berikut:
Anak
laki-laki, sebagaimana firman Allah, "Allah mewasiatkan (mensyariatkan)
bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (an-Nisaa' [4]:
11).
Sedangkan
cucu, cicit, dan keturunan di bawahnya, dikiaskan dengan anak laki-laki,
seperti dalam firman-Nya, "Wahai anak Adam...", "Wahai
Bani Israil...", dan lain sebagainya.
Sedangkan
ayah, disebutkan dalam Al-Qur'an, "...dan untuk ibu-bapak,
masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan..." (an-Nisaa'
[4]: 11); dan firman-Nya, "...dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja)."
(an-Nisaa' [4]: 11).
Adapun kakek,
dia masuk dalam kata-kata ayah, sehingga secara implisit telah
disebutkan oleh nash Al-Qur'an. Rasulullah saw. juga telah menganjurkan agar
memberikan seperenam (1/6) kepada kakek. Hal ini didasarkan pada riwayat bahwa
seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. kemudian berkata, "Cucu
laki-laki dan cicit laki-laki ku meninggal dunia, lantas berapakah bagian harta
waris yang ditinggalkannya untukku?" Rasulullah menjawab, "Kamu
mendapatkan bagian seperenam." Adapun yang dimaksud hadits tersebut
adalah kakek (ayahnya ayah), buyut, dan generasi di atasnya. Bagian ini tidak
termasuk kakek dari ibu (ayahnya ibu) karena kakek dari ibu termasuk
golongan dzawil arham, yaitu para ahli waris yang tidak
termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ashabah.
Adapun dalil
untuk saudara sekandung dan saudara seayah, adalah firman Allah, "Mereka
meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah, "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak..." (an-Nisaa' [4]:176) Adapun yang dimaksud saudara laki-laki
pada ayat ini adalah saudara sekandung dan saudara seayah.
Adapun dalil
saudara seibu, adalah firman Allah, "...Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta..." (an-Nisaa' [4]: 12)
Adapun dalil
yang menerangkan hak waris bagi anak laki-laki saudara sekandung, anak
laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki paman
sekandung, dan anak laki-laki paman seayah, yakni hadits Nabi, "Berikanlah
harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang
laki-laki yang lebih utama."
Adapun dalil
untuk hak waris suami, adalah firman Allah, "Bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu..."
(an-Nisaa' [41:12)
Dalil untuk
hak waris orang yang memerdekakan budak, yakni sabda Nabi saw, "Hak
wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak (nya)."
Demikianlah,
berdasarkan dalil-dalil diatas, para ulama telah menetapkan bahwa lima belas
laki-laki yang telah disebutkan di atas berhak mendapatkan harta yang
diwariskan sesuai dengan bagian mereka masing-masing. Dalam hal ini, tidak ada
seorang pun yang menyalahi ijma' para ulama tersebut.
Dalil-Dalil yang
Menetapkan Ahli Waris Perempuan
Dalil-dalil
yang memberikan hak waris kepada perempuan yang berjumlah sepuluh adalah firman
Allah swt. dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi saw. Dalil-dalil tersebut dapat
dilihat sebagai berikut.
Anak
perempuan, sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur'an, "Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta...." (an-Nisaa' [4]: 11)
Sedangkan
dalil hak waris untuk cucu dan cicit perempuan serta generasi di bawahnya,
dikiaskan dengan anak perempuan, karena cucu dari seorang anak, ketika dia
tidak ada, adalah seperti anak itu sendiri. Karenanya, semua laki-laki dianggap
seperti seorang laki-laki, dan semua perempuan dianggap seperti seorang
perempuan.
Adapun dalil
hak waris untuk ibu, yaitu firman Allah swt., "...Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya memperoleh seperenam..." (an-Nisaa' [4]: 11)
Adapun dalil
hak waris untuk nenek dari jalur mana pun, yakni dari hadits Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Qabishah bin Dzu'aib sebagai berikut: "Seorang nenek
datang kepada Abu Bakar r.a. menanyakan hak warisnya, lalu Abu Bakar menjawab,
'Kamu tidak mempunyai hak sedikit pun menurut ketentuan Kitab Allah dan aku
tidak tahu sedikit pun berapa hakmu di dalam Sunnah Nabi. Oleh karena itu,
kembalilah sampai aku menanyakan kepada seseorang.' Kemudian Abu Bakar
menanyakan hal ini kepada Mughirah, lalu Mughirah bin Syu'bah menjawab, 'Aku
pernah mengetahui bahwasanya Rasulullah saw. memberikan warisan kepada nenek
sebesar seperenam.' Kemudian Abu Bakar bertanya kepadanya, 'Apakah ada
orang lain bersama kamu pada waktu itu?' Kemudian Muhammad bin Maslamah
berdiri seraya berucap seperti apa yang telah dikatakan oleh Mughirah bin
Syu'bah. Setelah mendengar itu, Abu Bakar r.a. memutuskan bahwa seperenam
menjadi hak si nenek. Lalu datanglah nenek yang lain kepada Umar r.a.
menanyakan perihal bagian hak warisnya, lalu Umar berkata kepadanya, 'Kamu
tidak mempunyai hak sedikit pun dalam Kitab Allah, tetapi hanya seperenam
itulah. Namun, jika kamu berdua bersama-sama, seperenam itu untuk kamu berdua,
dan siapa saja di antara kamu berdua yang menyendiri, maka seperenam itu
untuknya.'" (HR al-Khamsah, kecuali an-Nasa'i dan hadits ini dianggap
sahih oleh at-Tirmidzi). Ada riwayat lain dari Buraidah bahwa Rasulullah saw.
menjadikan bagian seperenam untuk nenek, dengan syarat jika tidak ada ibu yang
bersamanya.
Adapun dalil
hak waris untuk saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah adalah
firman Allah swt., "...Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya..." (an-Nisaa'
[4]: 176)
Sedangkan
saudara perempuan seibu, dalilnya adalah firman Allah swt., "...Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak; tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta..." (an-Nisaa' [4]: 12)
Dalil hak
waris untuk istri, yakni firman Allah swt., "…Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan..." (an-Nisaa' [4]: 12)
Sedangkan
dalil untuk seorang perempuan yang membebaskan budak, sabda Nabi saw, "Hak
wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak (nya)."
Demikianlah,
para ulama telah bersepakat memberikan hak waris kepada sepuluh orang ahli
waris perempuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tanpa seorang pun
yang menyalahi ijma' para ulama tersebut.
Pengelompokan Ahli Waris
Terdapat
empat kelompok ahli waris, berikut ini adalah penjelasannya:
Kelompok Ashhabul Furudh
Yaitu
kelompok ahli waris yang pertama kali diberi bagian harta warisan. Mereka
adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, as-Sunnah,
dan ijma' secara tetap. Mereka berjumlah tujuh orang, yaitu:
1. Ibu
2. Saudara laki-laki seibu
3. Saudara perempuan seibu
4. Nenek dari ayah
5. Nenek dari ibu
6. Suami
7. Istri
Kelompok Ashabah
Yaitu
kelompok ahli waris yang menerima sisa harta warisan setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh. Bahkan, jika ternyata tidak ada ashabul furudh serta ahli
waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan yang ada. Begitu
juga, jika harta waris yang ada sudah habis dibagikan kepada ashabul furudh,
maka merekapun tidak mendapat bagian. Mereka berjumlah dua belas, yaitu sepuluh
dari kerabat yang merupakan kerabat pewaris berdasarkan silsilah keluarga dari
garis laki-laki (nasab) dan dua lagi dari luar kerabat, yaitu karena ia yang
telah memerdekakan pewaris jika status pewaris sebelumnya adalah sebagai budak
dia.
Sepuluh
ashabah yang merupakan kerabat laki-laki tersebut adalah:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Paman sekandung
8. Paman seayah
9. Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman seayah
Sedangkan dua
orang diluar kerabat adalah:
1. Laki-laki yang memerdekakan budak
2. Perempuan yang memerdekakan budak
Dari seluruh
ashabah diatas, ada satu ashabah yang paling kuat, yaitu anak laki-laki.
Walau banyaknya ashabul furudh yang merupakan ahli waris, maka anak laki-laki
ini pasti mendapatkan bagian warisan, karena ia dapat menghalangi sejumlah
ashabul furudh dan ashabah lainnya untuk mendapatkan bagian warisan.
Kelompok Ashhabul Furudh
atau Ashabah
Yaitu
kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu bisa menjadi ashhabul furudh
atau bisa juga menjadi ashabah, hal itu tergantung dengan kondisi yang menjadi
syarat utamanya. Mereka adalah:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya
kebawah
3. Saudara perempuan sekandung
4. Saudara perempuan seayah
Mereka akan
digolongkan kedalam kelompok ashhabul furudh, selama tidak ada saudara
laki-laki mereka. Namun jika ada saudara laki-laki mereka, walaupun hanya
berjumlah satu orang, maka mereka digolongkan ke dalam kelompok ashabah.
Kelompok Ashhabul Furudh
dan Ashabah
Yaitu
kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu bisa menjadi ashhabul furudh,
bisa juga menjadi ashabah, dan bisa juga sebagai gabungan dari keduanya, yaitu
sebagai ashhabul furudh dan ashabah secara sekaligus dalam satu waktu, hal itu
tergantung dengan kondisi yang menjadi syarat utamanya. Mereka adalah:
1. Ayah
2. Kakek (bapak dari ayah)
Hal ini
terjadi karena semua ahli waris dari kelompok ashhabul furudh yang ada sudah
menerima bagiannya, namun masih ada harta waris yang tersisa, sedangkan disana
tidak ada ashabah yang lain, maka sisanya diberikan kepada kelompok ini.
Bentuk-bentuk Waris
Terdapat
empat bentuk waris yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Hak waris secara fardh, yakni para ashhabul
furudh yang mendapatkan bagian waris secara tetap, sebagaimana yang sudah Allah
tetapkan di dalam Al-Qur'an secara jelas.
2. Hak waris secara ashabah, yakni mereka yang
mendapatkan sisa waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh.
3. Hak waris secara tambahan, yaitu apabila harta
warisan yang telah dibagikan kepada semua ashhabul furudh masih juga tersisa,
sedangkan disana tidak ada ahli waris ashabah, maka sisanya diberikan kepada
ashhabul furudh sesuai dengan bagian yang telah ditentukan, kecuali untuk suami
atau istri. Hak waris secara tambahan ini disebut juga Ar-radd. Adapun suami
atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada.
Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan,
sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan
dibandingkan lainnya. Kecuali bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dan ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki
ikatan rahim (dzawil arham), maka harta warisan tersebut seluruhnya
menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa
memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, baik dari kalangan ashhabul
furudh, ashabah maupun dzawil arham, maka para istri mendapatkan bagian
seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan
tambahan hak warisnya. Dengan demikian, para istri memiliki seluruh harta
peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan
istri yang meninggal.
4. Hak waris secara pertalian rahim. Bila pewaris tidak
mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula ashabah, maka para
kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan
warisan. Mereka disebut juga sebagai dzawil arham, misalnya paman
dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan
ibu), bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), cucu laki-laki dari anak
perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan, kakek dari jalur ibu, dan
lain-lain.
Penghalang Hak Waris
(al-Hajb)
Al-hajb dalam
bahasa Arab bermakna penghalang atau penggugur.
Maka makna al-hajb menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti
orang yang terhalang untuk mendapatkan warisan. Adapun pengertian al-hajb menurut
kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris lainnya untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang
yang lebih berhak untuk menerimanya.
Mempelajari
al-hajb dalam ilmu faraid sangat penting, sampai-sampai sebagian ulama berkata,
"Haram berfatwa dalam bidang ilmu faraid bagi yang tidak memahami
al-hajb." Perkataan sebagian ulama tersebut sesungguhnya sangat
beralasan, karena jika kita tidak mengetahui al-hajb, bisa jadi seseorang yang
semestinya berhak untuk mendapatkan warisan menjadi tidak mendapat warisan, dan
bisa jadi orang yang semestinya tidak berhak mendapat warisan menjadi mendapat
bagian warisan.
Macam-macam al-Hajb
Al-hajb
terbagi dua, yaitu:
- Al-hajb bil washfi (berdasarkan sifatnya)
- Al-hajb bi asy-syakhshi (karena orang lain)
Al-hajb bil
washfi berarti orang yang terkena hajb tersebut terhalang dari mendapatkan hak
waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya, kafir atau
murtad, serta budak. Maka hak waris untuk kelompok ini menjadi gugur atau
terhalang. Al-hajb bil washfi di dalam kalangan ulama faraid dikenal pula
dengan nama al-Hirman.
Sedangkan
al-hajb bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya
orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hajb bi asy-syakhshi ini
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:
- Hajb Hirman, yaitu penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek
karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak,
terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Harap
diperhatikan bahwa hajb hirman tidak sama dengan al-Hirman (Al-hajb bil washfi)
sebagaimana yang saya sebutkan diatas, kendatipun namanya sama.
- Hajb Nuqshan, yaitu penghalangan terhadap hak
waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Contohnya, suami
terhalang mendapatkan bagian warisan, dari setengah (1/2) menjadi seperempat
(1/4), karena adanya keturunan istri yang dapat mewarisi, baik keturunan
tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan suami tersebut maupun dari
suaminya yang terdahulu. Istri terhalang mendapatkan bagian warisan, dari
seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena adanya keturunan suami yang
dapat mewarisi, baik keturunan tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan
istri tersebut maupun dengan istri-istrinya yang lain. Demikian pula ibu, ia
terhalang mendapatkan bagian warisan, dari sepertiga (1/3) menjadi seperenam
(1/6) karena adanya keturunan yang dapat mewarisi dan karena sebab berkumpulnya
beberapa (dua orang atau lebih) saudara laki-laki atau saudara perempuan, baik
saudara sekandung, seayah maupun seibu. Contoh lainnya, seorang cucu perempuan
dari anak laki-laki terhalang dari mendapatkan bagian sebesar setengah (1/2)
menjadi seperenam (1/6) karena adanya seorang anak perempuan kandung atau
karena adanya cucu perempuan dari anak laki-laki lainnya yang lebih tinggi
derajatnya, jika ia bukan anak perempuan kandung. Begitu pula, saudara
perempuan seayah terhalang dari mendapatkan setengah (1/2) menjadi seperenam
(1/6) karena adanya seorang saudara perempuan sekandung.
Satu hal yang
perlu diperhatikan adalah, dalam dunia faraid, apabila kata al-hajb disebutkan
tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hajb hirman.
Ahli Waris yang Tidak
Terkena Hajb Hirman
Ada sederetan
ahli waris yang tidak mungkin terkena hajb hirman atau dengan kata lain tidak
mungkin terhalang oleh ahli waris lainnya. Mereka terdiri dan enam orang yang
akan tetap mendapatkan hak waris bagaimanapun keadaannya. Keenam orang tersebut
adalah:
1. Anak laki-laki
2. Anak perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri
Bila orang
yang mati meninggalkan salah satu dari keenam orang diatas, atau bahkan
seluruhnya (terkecuali suami dan istri, karena mereka tidak mungkin berkumpul
atau bersamaan dalam satu waktu), maka semuanya harus mendapatkan warisan,
bagaimanapun keadaannya.
Ahli Waris yang Dapat
Terkena Hajb Hirman
Adapun
sederetan ahli waris yang dapat terkena hajb hirman ada sembilan belas orang,
dua belas orang dari kalangan laki-laki dan tujuh orang dari kalangan
perempuan. Hafalkan dan pahamilah daftar dan urutannya.
Ahli Waris
dari Kalangan Laki-Laki yang Dapat Terkena Hajb Hirman Adalah:
1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ia terhalang hanya oleh
anak laki-laki dari pewaris.
2. Kakek dan generasi diatasnya. Mereka terhalang oleh ayah.
3. Saudara laki-laki sekandung. Mereka terhalang oleh tiga
orang, yaitu anak laki-laki dari pewaris, ayah, dan cucu laki-laki dari anak
laki-laki. Ini adalah ijma' para ulama.
4. Saudara laki-laki seayah. Mereka terhalang oleh empat orang,
yaitu anak laki-laki dari pewaris, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah,
dan saudara laki-laki sekandung.
5. Saudara laki-laki seibu. Mereka terhalang oleh empat orang,
yaitu ayah, kakek, anak laki-laki maupun anak perempuan, dan cucu laki-laki
atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Ini adalah ijma' para ulama. Dengan
demikian saudara laki-laki seibu tidak akan terhalang oleh saudara laki-laki
sekandung ataupun saudara laki-laki seayah, dan tidak terhalang juga oleh
adanya ibu.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. Mereka
terhalang oleh enam orang, yaitu ayah, kakek, anak laki-laki dan cucu laki-laki
dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. Mereka
terhalang oleh tujuh orang, yaitu enam orang yang menghalangi anak saudara
sekandung sebagaimana yang telah disebutkan di atas (no.6) dan yang ketujuh
adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, karena ia lebih kuat
hubungannya dengan pewaris.
8. Paman sekandung. Dia terhalangi oleh delapan orang, yaitu tujuh
orang yang menghalangi anak saudara seayah (no.7), dan yang kedelapan adalah
anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, karena ia juga lebih kuat
hubungannya dengan pewaris.
9. Paman seayah. Dia terhalang oleh sembilan orang, yaitu
delapan orang yang menghalangi paman sekandung (no.8), dan yang kesembilan
adalah paman sekandung, karena hubungannya lebih kuat daripada paman seayah.
10. Anak laki-laki dari paman sekandung. Mereka terhalang oleh
sepuluh orang, yaitu sembilan orang yang menghalangi paman seayah (no.9), dan
yang kesepuluh adalah paman seayah karena sederajat dengan ayahnya dan lebih
dekat.
11. Anak laki-laki dari paman seayah. Mereka terhalang oleh
sebelas orang, yaitu sepuluh orang yang menghalangi anak laki-laki dari paman
sekandung (no.10), dan yang kesebelas adalah anak laki-laki dari paman
sekandung itu sendiri, karena hubungannya lebih kuat daripada anak laki-laki
dari paman seayah.
12. Laki-laki yang memerdekakan budak. Menurut ijma para ulama,
mereka terhalang oleh para ahli waris yang berdasarkan nasab (hubungan
kekerabatan), karena nasab lebih kuat daripada orang yang memerdekakan budak.
Juga di dalam nasab, ada hukum-hukum yang tidak ada pada orang yang
memerdekakan budak, seperti hubungan mahram, kewajiban memberi nafkah, gugurnya
hukum qishash, tidak berlakunya kesaksian, dan lain-lain.
Ahli Waris
dari Kalangan Perempuan yang Dapat Terkena Hajb Hirman Adalah:
1. Cucu perempuan dari anak laki-laki. Mereka terhalang oleh
anak laki-laki. Ia juga terhalang oleh dua anak perempuan atau lebih, karena
bagian tetap anak perempuan adalah dua per tiga (2/3) dan itu tidak tersisa,
kecuali jika cucu perempuan dari anak laki-laki itu bersama cucu laki-laki dari
anak laki-laki, maka dalam hal ini ia akan ikut mendapatkan sisa setelah harta
warisan sebanyak dua per tiga (2/3) bagian dibagikan kepada dua anak perempuan.
Ketentuannya, laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian anak perempuan.
Namun cucu perempuan dari anak laki-laki ini tidak dapat terhalang oleh satu
orang anak perempuan saja, karena dalam hal ini ia menjadi penyempurna bagian
anak perempuan, yakni dari 1/2 menjadi 2/3. Jadi jika pewaris hanya
meninggalkan anak perempuan tunggal, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak
laki-laki lainnya, maka ia mendapatkan hak waris secara fardh, yakni 1/6
bagian, sebagai penyempurna bagian anak perempuan (2/3). Lebih detail tentang
hal ini, Insya Allah akan saya jelaskan pada bab berikutnya dalam sub bab
"Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam".
2. Nenek dari ibu. Ia terhalang hanya oleh adanya ibu, karena
tidak ada penghalang antara nenek dari ibu dan pewaris selain ibu. Oleh karena
itu, ia tidak terhalang oleh ayah atau kakek.
3. Nenek dari ayah. Menurut ijma' para ulama, ia terhalang oleh
ibu. Sebab, ibu lebih berhak dengan statusnya sebagai ibu dari pewaris dan ia
juga lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Menurut jumhur ulama, nenek dari
jalur ayah ini terhalang juga oleh ayah.
4. Saudara perempuan sekandung. Mereka terhalang oleh ayah, anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit laki-laki dari cucu
laki-laki dari anak laki-laki, dan generasi dibawahnya.
5. Saudara perempuan seayah. Mereka terhalang oleh orang-orang
yang menghalangi saudara perempuan sekandung, dan terhalang juga oleh saudara
laki-laki sekandung dan oleh saudara perempuan sekandung, jika mereka menjadi
ashabah. Saudara perempuan seayah juga terhalang oleh dua orang saudara
perempuan sekandung, kecuali jika saudara perempuan seayah ini bersama saudara
laki-laki seayah. Jika demikian, ia menjadi ashabah dan tidak terhalang. Jika
ia bersama saudara laki-laki seayah tersebut, maka ia ikut mendapatkan sisa
setelah bagian dua per tiga (2/3) untuk dua saudara perempuan sekandung.
Ketentuannya, saudara laki-laki seayah mendapatkan bagian dua kali bagian
saudara perempuan seayah. Namun saudara perempuan seayah ini tidak dapat
terhalang oleh satu orang saudara perempuan sekandung, karena dalam hal ini ia
menjadi penyempurna bagian saudara perempuan sekandung, dari 1/2 menjadi 2/3.
Jadi jika pewaris hanya meninggalkan saudara perempuan sekandung tunggal, dan
tidak ada saudara laki-laki sekandung lainnya, maka ia mendapatkan hak waris
secara fardh, yakni 1/6 sebagai penyempurna bagian saudara perempuan sekandung
(2/3). Lebih detail tentang hal ini, Insya Allah akan saya jelaskan pada bab
berikutnya.
6. Saudara perempuan seibu. Mereka terhalang oleh ayah, kakek,
anak laki-laki maupun anak perempuan, cucu laki-laki atau cucu perempuan dari
anak laki-laki, dan seluruh keturunan yang mewarisi, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun, saudara seibu tidak akan terhalang oleh saudara sekandung
ataupun saudara seayah, dan tidak terhalang juga oleh adanya ibu.
7. Perempuan yang memerdekakan budak. Mereka terhalang oleh ahli
waris yang berdasarkan nasab atau kekerabatan, karena nasab lebih kuat daripada
seseorang yang memerdekakan budak.
Kaidah-Kaidah yang
Berlaku dalam Hajb Hirman
Kaidah-kaidah
yang berlaku pada hajb hirman ada lima, yaitu:
1. Setiap orang yang berhubungan dengan pewaris karena adanya perantara,
maka penghalangnya adalah si perantara itu. Misalnya cucu laki-laki dari anak
laki-laki akan terhalang oleh anak laki-laki, kakek akan terhalang oleh ayah,
nenek terhalang oleh ibu, dan seterusnya. Kecuali anak dari ibu, ia mewarisi
bersama perantara yang menghubungkannya, yaitu ibu. Ketentuan ini merupakan
ijma' para ulama.
2. Setiap orang yang jalur keturunannya lebih dekat dapat
menghalangi orang yang jalurnya lebih jauh. Oleh karena itu, ayah dapat
menghalangi saudara laki-laki atau saudara perempuan pewaris. Saudara-laki-laki
atau saudara perempuan menghalangi paman. Anak menghalangi ayah dalam mewarisi
dengan ashabah, karena dalam situasi seperti ini, ayah menjadi ashhabul furudh,
dan ia mendapatkan seperenam (1/6).
3. Orang yang lebih dekat derajatnya (hubungannya) dengan
pewaris menghalangi orang yang lebih jauh tali kekerabatannya, yaitu ketika
kekuatan kekerabatan tidak lagi berfungsi. Contoh, seorang anak laki-laki dapat
menghalangi cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, ayah dapat
menghalangi kakek, ibu dapat menghalangi nenek, saudara dapat menghalangi anak
saudara, dan paman dapat menghalangi anak paman, dan demikian seterusnya.
4. Orang yang paling kuat dalam kekerabatan dapat menghalangi
orang yang lemah tingkat kekerabatannya. Misalnya, saudara kandung menghalangi
saudara seayah. Anak saudara kandung menghalangi anak saudara seayah. Paman
kandung menghalangi paman seayah, dan anak paman sekandung menghalangi anak
paman seayah.
5. Tidak ada yang dapat menghalangi ushul (pokok), kecuali ushul
pula, dan tidak ada yang dapat menghalangi furu' (cabang), kecuali furu' pula.
Orang-orang yang berada secara menyamping dalam hubungan kekerabatan dapat
dihalangi oleh ushul, furu', dan al-hawasyi (kerabat menyamping) yang hubungan
kekerabatannya lebih dekat. Dengan demikian, tidak ada yang dapat menghalangi
kakek, kecuali ayah, dan tidak ada yang dapat menghalangi nenek, kecuali ibu.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki tidak
terhalang, kecuali oleh anak laki-laki. Saudara sekandung dihalangi oleh anak
dan ayah. Saudara seayah dihalangi oleh anak, cucu laki-laki dari anak
laki-laki, ayah, saudara sekandung, dan demikian seterusnya.
Pengelompokan Hajb Hirman
Dengan
merujuk pada penjelasan-penjelesan diatas, maka dapat disimpulkan, para ahli
waris dalam hajb hirman dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Ahli waris yang bisa menghalangi dan tidak bisa
terhalang, yaitu bapak, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Ahli waris yang tidak bisa menghalangi dan bisa
terhalang, yaitu saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.
3. Ahli waris yang tidak bisa menghalangi dan tidak bisa
terhalang, yaitu suami dan istri.
4. Ahli waris yang bisa menghalangi dan bisa pula
terhalang, yaitu para ahli waris selain yang tersebut di atas.
Pembagi
Pembagi, yang
dalam ilmu faraid lebih dikenal dengan sebutan pokok masalahatau asal
masalah, adalah bilangan yang paling sedikit atau paling kecil yang bisa
diambil dari seluruh bagian para ahli waris secara benar tanpa ada bilangan
pecahan (desimal), dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan perbedaan
para ahli waris yang ada. Mengetahui pembagi merupakan suatu keharusan bagi
kita yang akan mengkaji ilmu faraid, yakni agar kita dapat mengetahui secara
pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa
mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Jika Anda telah memahami
dasar-dasar matematika yang sudah saya sampaikan pada bab 2, insya Allah tidak
akan sulit dalam menentukan pembagi ini. Ambilah kertas kosong, pensil dan
penghapus, kemudian harap praktekan seluruh contoh-contoh yang ada dalam
FaraidWeb ini, maka Insya Allah akan memudahkan dalam memahami dan mencari
nilai pembagi ini.
Persoalan
pembagi di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil,
yang berarti usaha untuk mengetahui nilai pembagi sehingga diperoleh nilai
pembagi tanpa melalui pemecahan yang rumit dan angka-angka desimal. Kendatipun
pada zaman kita ini sudah ada kalkulator elektronik maupun komputer, namun
dalam menentukan nilai pembagi, sebaiknya tetap merujuk pada nilai pembagi yang
bulat.
Untuk
mengetahui pembagi, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli
warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya
hanya termasuk ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan
antara ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila
seluruh ahli waris yang ada semuanya dari ashabah dari golongan laki-laki maka
pembaginya dihitung per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima
orang anak laki-laki, maka pembaginya dari lima. Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pembaginya dari sepuluh.
Bila ternyata
ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak
laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah, "bagian anak laki-laki adalah dua
kali bagian anak perempuan". Dengan demikian nilai pembaginya dihitung
dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima
orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pembaginya berarti tujuh.
Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak
laki-laki, maka pembaginya sebelas, dan demikian seterusnya.
Bila ternyata
ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah
pembaginya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan
saudara kandung perempuan. Maka pembaginya dari dua. Sebab, bagian suami
setengah dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah. Secara umum dapat
dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak
mendapat seperenam, maka pembaginya dari enam. Bila semuanya berhak sepertiga,
maka pembaginya dari tiga. Bila semuanya seperempat atau seperdelapan, maka
pembaginya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan
jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian,
yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya, maka kita dapat memadukannya menggunakan metode operasi bilangan
pecahan sebagaimana yang sudah saya bahas pada bab 2.
Namun, agar
lebih mudahnya, marilah kita pelajari kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh
para ulama ilmu faraid. Kaidah-kaidah ini dibuat untuk mempermudah kita dalam
memahami pembagi ketika ahli waris terdiri dari berbagai ashhabul furudh yang
mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama
faraid membagi kaidah-kaidah tersebut menjadi dua bagian:
1. Bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan
(1/8).
2. Bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6).
Apabila para
ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4,
1/8), berarti pembaginya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam
suatu keadaan, ahli warisnya dari ashhabul furudh setengah (1/2) dan seperempat
(1/4), maka pembaginya dari empat (4). Apabila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari para ashhabul furudh setengah (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8), atau hanya seperempat (1/4) dengan seperdelapan (1/8),
maka pembaginya dari delapan (8).
Begitu juga
apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang kedua saja (yakni
2/3, 1/3, 1/6), berarti pembaginya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari ashhabul furudh sepertiga (1/3)
dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka
pembaginya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka pembagi yang terbesar.
Namun jika
dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara ashhabul furudh kelompok
pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pembaginya. Kaidah yang dimaksud
seperti tersebut di bawah ini:
· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh setengah (1/2)
yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan salah satu dari kelompok
kedua, atau semuanya, maka pembaginya dari enam (6).
· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh seperempat (1/4)
yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau
salah satunya, maka pembaginya dari dua belas (12).
· Apabila dalam suatu keadaan, ashhabul furudh seperdelapan
(1/8) yang merupakan kelompok pertama, bercampur dengan seluruh kelompok kedua,
atau salah satunya, maka pembaginya dari dua puluh empat (24).
Maka setelah
kita pahami kaidah-kaidah diatas, sesungguhnya semua itu sejalan dengan teori
penjumlahan atau pengurangan bilangan pecahan pada dasar-dasar matematika yang
sudah saya sampaikan pada bab 2. Selain itu, contoh-contoh soal yang sudah saya
sampaikan pada FaraidWeb ini, didalamnya sudah memuat kaidah-kaidah diatas.
Saya berpendapat bahwa Anda sebenarnya tidak perlu menghafal kaidah-kaidah
diatas jika telah memahami dasar-dasar matematika untuk operasi bilangan
pecahan ini.
Tashih
Tashih adalah
suatu cara untuk menyamakan pembagi seluruh ahli waris agar setiap ahli waris
dapat menerima bagiannya berdasarkan bilangan bulat yang pas dan tanpa sisa.
Tashih umumnya dilakukan manakala ahli waris dalam satu kelompok berjumlah
lebih dari satu orang. Inti dari tashih adalah agar masing-masing ahli waris
mendapatkan bagian waris dari pembilangnya secara bulat atau pas, tanpa
menghasilkan sisa. Karena itu pembagi yang ada dapat dikalikan dengan jumlah
kepala setiap kelompok ahli waris, kemudian bagian waris yang baru ikut
dikalikan pula dengan jumlah kepala setiap kelompok ahli waris.
Misalnya saja
seseorang wafat dan meninggalkan ahli waris istri, anak perempuan, dan dua
orang saudara perempuan sekandung. Dalam kasus ini, istri mendapatkan
seperdelapan (1/8), anak perempuan mendapatkan setengah (1/2), dan 2 saudara
perempuan sekandung mendapatkan sisanya. Pembagi awal dalam kasus ini adalah 8.
Dengan demikian, istri mendapatkan 1 bagian (1/8x8=1), anak perempuan
mendapatkan 4 bagian (1/2x8=4), dan saudara perempuan sekandung mendapatkan 3
bagian (8-(1+4)=3). Dengan demikian, bagian sisa untuk 2 orang saudara
perempuan sekandung tidak mungkin dapat dibagi sesuai dengan jumlah kepala,
karena 3 tidak dapat dibagi 2 dengan hasil pas, tanpa sisa pecahan. Karena itu,
kita harus membulatkan bagiannya agar setiap ahli waris mendapatkan bagian yang
pas atau tidak ada pecahan yang tersisa, yakni dengan cara mengalikan pembagi
awal dengan jumlah saudara perempuan sekandung, sehingga didapat pembagi akhir
adalah 16 (8x2=16). Dengan demikian, istri mendapatkan 2 bagian (1/8x16=2),
anak perempuan mendapatkan 8 bagian (1/2x16=8), dan saudara perempuan sekandung
mendapatkan 6 bagian (16-(2+8)=6). Inilah yang disebut dengan tashih dalam ilmu
faraid.
DAFTAR PUSTAKA
http://blogpelajaranagamaislam.blogspot.co.id/2010/12/bab-2-dasar-dasar-ilmu-faraid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar